Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review Novel Guru Aini

 

Review Novel Guru Aini

(untuk kelima guru hebat yang pernah satu pendampingan dengan saya)




Judul buku    : Guru Aini

Pengarang     : Andrea Hirata

Penerbit         : Bentang Pustaka

Tahun terbit  : 2020

Jumlah halaman: 336



Sebenarnya sudah cukup lama juga sih saya selesai membaca novel ini, sudah ada sebulan yang lalu. Namun selalu saja belum sempat menuliskan reviewnya. Alih-alih menulis review, selepas menyelesaikan Novel Guru Aini saking penasaran dengan dua buku lainnya, saya lanjutkan ke buku kedua dan ketiga dalam trilogi ini tanpa menghiraukan janji saya pada CGP saya untuk menuliskan reviewnya. Hehehe.....


Novel Guru Aini ini ada dalam satu seri (trilogi guru Aini) dengan dua novel lainnya yaitu yaitu Buku Besar Peminum Kopi dan Orang-orang Biasa. Buku Besar Peminum Kopi (2020) adalah prequel dari novel Guru Aini dan  Orang-orang biasa (2019)  adalah sequelnya Guru Aini (2020). Nah, kawan kalau kawan hendak bertanya buku mana yang harus kawan baca dahulu  dari trologi ini? Usahlah risau. Kawan bisa memulai dengan membaca buku mana saja hehehe. Tapi kalau mau tau rekomendasi saya, mulai saja dari Guru Aini lalu BBPK kemudian OOB.


Ok lanjut ya tentang isi novel guru aini. Hal yang paling saya sukai dari Novel ini adalah penokohannya. Ketiga karakter utamanya sangat kuat dan dipresentasikan dengan sangat menarik nan eksentrik. Saya akan menceritakannya alurnya dari tiga tokoh utama yaitu Desi Istiqomah, Debut Awaluddin dan Aini.



Desi Istiqomah


Saya yakin banyak pembaca akan salah persepsi dengan judul novel ini seperti saya. Karena dari judulnya saya berharap akan mendapatkan cerita tentang kehidupan seorang guru yang bernama Aini. Akan tetapi tidak seperti itu kawan, Novel ini memang bercerita tentang “kehidupan profesi” seorang guru tapi bukan guru yang bernama Aini. Guru yang menjadi tokoh utamanya adalah Ibu Guru Desi Istiqomah, seorang guru Matematika SMA di sebuah pulau terpencil daerah sumatera, pulau Tanjong Hampar.  


Cerita diawal Novel mengisahkan bagaimana kukuhnya perjuangan Desi Istiqomah remaja memperjuangkan cita-citanya menjadi guru. Desi Istiqomah adalah murid paling cerdas dari SMAnya. Kepala sekolahnya, Wali kelasnya dan Ibunya sangat ingin Desi kuliah pada jurusan lain yang “lebih baik” dari pada kuliah untuk profesi keguruan. Sebagai murid paling pandai dari sekolahnya tentunya Desi tidak akan menemui kesulitan untuk diterima di jurusan manapun. Dan itu adalah hal yang lumrah bagi murid Cerda untuk bersekolah di sekolah kedokteran. Tapi apa kata Desi Istiqomah?. "Harus ada seseorang memulai sesuatu yang tak pernah ada" (hlm. 10) Desi Istiqomah tetap pada pendiriannya ingin menjadi guru, seperti Ibu Guru Marlis, Gurunya di SD dulu. Menurut Desi, Guru Marlis telah membuat dunia matematika terang benderang baginya. Inilah salah satu idealisme Bu Desi yakni ingin seperti Ibu Guru Marlis, dia ingin berjuang membuat matematika agar tidak lagi menjadi menakutkan bagi murid-murid. Bujukan demi bujukan datang silih berganti  untuk membelokkan cita-cita Desi namun Desi tidak bergeming, dia tetap pada pendiriannya ingin menjadi guru. Singkat cerita, Desi masuk jurusan keguruan, mengambil program D3 guru matematika ikatan dinas. Desi selesai dari program keguruan itu dengan predikat sebagai wisudawan terbaik. Ia dapat memilih untuk menjadi dosen di kampusnya kalau ia mau. Namun sekali lagi pilihan itu ditolaknya, Desi hanya mau jadi guru Matematika. Setelah melalui drama pengundian tempat bertugas akhirnya Desi mendapat Pulau Janjong Hampar sebagai tempatnya untuk mengabdi. Perjalanannya ke tempat tugasnya itu membutuhkan waktu berhari-hari dengan moda transportasi yang berganti-ganti dari Bus, perahu, kapal kayu dan lebih parahnya lagi mabuk perjalanan juga menjadi hal yang tidak bisa terelakkan. Namun itu semua tidak menyurutkan semangatnya untuk menjadi guru matematika.



Debut Awaluddin


Cita-cita Guru Desi Istiqomah adalah  untuk mendapatkan seorang yang berbakat matematika yang ingin dia didik agar menjadi jenius matematika. Namun bertahun-tahun dia mengajar matematika tidak ada siswa yang berbakat matematika ditemuinya. Dalam idealismenya untuk mendapatkan seorang murid yang berbakat matematika ini, Guru Desi mengangkat sumpah sepatu, yakni tidak akan pernah mengganti sepatu olah raga pemberian ayahnya sebelum dia mendapatkan seorang yang berbakat matematika yang ingin dia didik menjadi piawai matematika. Setelah tahun demi tahun berlalu akhirnya penantian guru Desi terjawab setelah dia bertemu seorang murid yang  Bernama Debut Awaluddin. Guru Desi melihat bakat matematika dalam diri Debut. Guru  Desi sangat gembira dengan kemunculan murid sepandai Debut. Akhirnya guru Desi bisa memakai sepatu baru karena telah didapatnya seorang murid yang akan dia didik untuk menjadi kampiun matematika. Saking semangatnya dia sampai menyiapkan sebuah meja dan kursi khusus di rumah dinasnya untuk memberikan les privat pada Debut Awaluddin. Namun apa daya, Debut tidak tertarik untuk mengasah bakat matematikanya. Ia lebih tertarik bergabung  dengan teman-temannya yang tidak peduli matematika, tak hirau dengan pelajaran. Debut menyia-nyiakan bakat dalam dirinya dan pada akhirnya memilih drop out dari sekolah meninggalkan guru Desi patah hati. Akhirnya, Guru Desi kembali memakai sepatu butut pemberian ayahnya itu. Kursi dan meja yang ia sudah siapkan untuk Debut tak pernah sekalipun terpakai. Dalam kegetirannya guru Desi berucap pada sahabatnya Laila: “hidupku mungkin akan lebih mudah kalau aku sama sekali tidak pernah bertemu Debut” (h.66) dan pada halaman yang sama dikatakan "Memintarkan seorang murid cukup untuk membuat batin seorang guru tertekan, namun murid yang sudah pintar dan mengabaikan kepintarannya, akan memukul perasaan seorang guru dengan kegetiran yang tak dapat dimengerti siapa pun".

 


Aini binti Syafruddin


Aini adalah  seorang murid yang juga digambarkan paling tidak becus matematika. Bagi Aini matematika terlalu menakutkan sehingga pada setiap pelajaran matematika dia selalau mengalami sakit perut. Guru matematika Aini adalah Pak Guru Tabah, yang digambarkan sangat sabar. Karena kesabarannya Pak Tabah banyak disukai oleh murid-murid yang tidak bisa matematika. Berbeda dengan Ibu Desi, Ibu Desi akan mendamprat habis-habisan murid-muridnya yang tak becus matematika. Namun walau diajar bagaiamanapun Aini tetaplah tidak bisa mengerti matematika nilainya hanya bisa 0 atau 1 dan setiap jam pelajaran matematika Aini selalu kebagian dihukum menghapus papan tulis atau berdiri di pojok kelas. Selanjutnya datanglah sebuah masalah dimana ayah Aini jatuh sakit dan dokter mengatakan penyakit Ayah Aini hanya bisa diobati oleh dokter ahli yang hanya ada di ibukota provinsi. Karena keterbatsan ekonomi, maka berobat ke iukota provinsi yang demikian jauh adalah hal mustahil bagi kelaurga Aini. Dari kejadian itulah Aini kemudian bercita-cita ingin menjadi seorang dokter.

Karena sadar bahwa untuk menjadi seorang dokter dia perlu belajar matematika, maka Aini memutuskan untuk pindah ke kelas Ibu Desi agar dapat belajar matematika dari ahlinya. Teman-temannya mencemooh keputusan itu dan menganggap  itu adalah keputusan bunuh diri. Akan tetapi Aini yang sudah bulat tekad ingin menjadi dokter, tidak peduli dengan cemoohan. Kisah selanjutnya  adalah bagaimana seorang Aini yang otaknya buntu matematika jugnkir balik diajar dan dihajar guru Desi. Guru Desi pun sampai “hampir gila” karena kebebalan Aini dalam hal matematika. Namun meskipun Aini bebal matematika dan sering dihardik guru Desi, kekagumannya dan rasa hormatnya pada guru Desi tidak berkurang sedikitpun. Aini berkata: “Kekagumanku padamu adalah sumur tak berdasar guru. Sungguh luas pengetahuanmu betapa beruntungnya aku menjadi muridmu (h.240)”.

 

Rasanya tidak pantas tulisan ini disebut review tanpa membeberkan apa yang tidak saya sukai dari novel ini. Hal yang tidak saya sukai adalah karakter guru yang “baik” dalam buku ini digambarkan sebagai guru yang penuh dengan ungkapan sinisme dan sindiran membabibuta seolah tak ada hari esok hahaha (itu meminjam gaya bahasa jenaka Andrea Hirata). Meskipun saya juga masih sangat susah juga melepaskan diri dari gaya mengajar tempo doloe dengan reward and punishment, yang penuh dengan hiasan kalimat-kalimat sindiran, namun sesuai dengan pedagogi jaman now, saya berharap bahwa gaya mengajar yang penuh dengan sinisme dan sindiran itu janganlah lagi dipopulerkan. Kemudian hal lain yang saya tidak sukai adalah endingnya yang menyesakkan dada. Terlalu kata bang Roma. Untuk buku ini saya beri rating 4,2 dari 5.

Selanjutnya sebelum menutup review ini saya akan share dua refleksi saya setelah membaca novel ini. Dua saja 'ntar kepanjangan lagi. :)

  

Refleksi 1. Idealisme Pendidikan dan Murid Bodoh Vs Pandai

Sebuah hal yang menarik dalam novel ini melihat bagaimana  Andrea Hirata membungkus ide tentang idealisme dalam pendidikan dan menjugkir balikkan istilah “bodoh” Vs “pandai” dalam sebuah Novel yang penuh dengan gaya bercanda logat melayu.


Ide tentang pentingnya idealisme dalam pendidikan itu diwakilkan dalam karakter keras Guru Desi. (Pertama) Dia hanya ingin mengabdi menjadi guru, tidak peduli orang lain berkata apa tentang profesi guru. Guru Desi ingin menjadi guru karena terinspirasi dari guru Marlis yang membuatnya menyukai Matematika. Dia berharap bisa menjadi seperti guru Marlis membawa peliita terang matematika bagi anak-anak pelosok. (Kedua) Guru Desi bercita-cita agar anak-anak pelosok itu tidak patah semangat terhadap matematika. Tidak kalah sebelum bertanding melawan matematika, karena banyak anak-anak yang sudah merasa kalah lebih dahulu sebelum belajar matematika.


Sementara itu ironi tentang siswa pandai vs siswa bodoh diwakilkan dalam diri Debut Awaluddin yang dikatakan berbakat matematika. Debut Awaluddin mampu menguasai konsep matematika yang rumit dalam waktu yangsingkat namun pada akhirnya dia dikalahkan oleh “solidaritas buta” dan ketiadakadaan semangat belajar. Sementara itu Aini seorang gadis yang tidak memiliki sedikitpun bakat matematika, yang oleh guru Desi telah diajar berbagai metode namun tidak mempan, tetap dengan semangat, meski dengan cucuran keringat dan air mata, belajar matematika sedikit demi sedikit. Sungguh sebuah suguhan cerita menarik tentang siapa sebenarnya diantara mereka yang sebenar-benarnya bodoh dan siapa yang sebenarnya pandai? Tentunya dari kacamata pedagogi ini bisa dilihat dari prespektif kemandirian belajar atau prespektif kecerdasan kognitif vs kecerdasan metakognitif.

 

Refleksi 2. Guru Penggerak dan KSE

Hal terakhir adalah novel ini mengingatkan saya pada diskusi-diskusi tentang topik “budaya positif” dan  bagaimana guru harus memiliki Kompetensi Sosial Emosional (KSE). Kedua topik ini banyak didiskusikan dalam Pendidikan Guru Penggerak. Jaman sekarang ini guru dituntut untuk selalu berempati kepada siswa. Memarahi siswa dengan kata-kata yang keras dan terkesan mempermalukan siswa sudah bukan jamannya lagi. Fenomena pendidikan jaman seperti ini sangat banyak diperlihatkan oleh perilaku guru Desi, guru Tabah dan guru-guru lainnya dalam novel ini. Setting pengajaran dalam buku ini tentunya adalah setting jaman dulu, jaman kapur tulis dan papan hitam dimana otoritas guru sebagai  penghukum bagi yang tidak becus dan pemberi hadiah minimal pujian bagi  yang pandai adalah hal yang lumrah. Cara itu tentu saja banyak berhasil pada jaman dulu sesuai dengan pepatah: “diujung cambuk ada emas”. Akan tetapi perilaku seperti ini sudah tidak dapat lagi dipertahankan dijaman seperti sekarang ini mengingat hal tersebut rentan untuk membuat guru berhadapan dengan KPAI, HAM dsb. Oya, bagi Bapak/Ibu CGP atau Pendamping/Pengajar Praktik, Novel ini sangat menarik untuk dibaca  dan dapat menjadi sumber diskusi Bapak/Ibu dalam pendampingan nanti.

 

Oya balik ke alur cerita Novel Aini. Berhasilkah Aini menggapai mimpinya menjadi murid yang pandai matematika? Bagaimana pahit getirnya perjuangan seoarang anak miskin untuk bisa masuk ke sebuah PTN ternama? Berhasilkah Aini menggapai cita-citanya menjadi Dokter? Kalau ingin tau jawabannya silahkan lanjutkan sendiri membaca novelnya: “Guru Aini”

 

Selamat Membaca 😊 salam guru penggerak

 

Ben

Pendamping Guru Penggerak Angkatan 1

Majene- Polewali Mandar.


Untuk Pak Bakri, Bu Mesra, Bu Mini, Bu Rahma dan Bu Nisma

Salam semangat selalu

💪💪💪💪💪

2 komentar untuk "Review Novel Guru Aini"

  1. Sebuah suguhan manis, dg warna idealisme seorang tokoh cerita, lakon yg dekat dengan narasi seorang pendidik, dengan tampilan yang legit. Menyeruakkan nafsu untuk memindai dg pupil mata sendiri. Ah... bravo pak Ben

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, novel yang bagus dijadikan refleksi pedagogis. Tokoh Debut vs Aini dapat menjadi contoh pelajar yang memiliki kecerdasan kognitif vs metakoginitif

      Hapus