Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Media Sosial: Jembatan Pemersatu untuk Merayakan Perbedaan atau Pisau Pemecah Persatuan

Di era digital yang terhubung tanpa batas, media sosial telah menjelma menjadi kekuatan transformatif dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya kita. Sebagaimana dikritik oleh Fisher (2022), "Media sosial dibangun untuk menyatukan kita. Namun pada kenyataannya, ia justru menguasai seni memecah belah—memperkuat insting terburuk kita sambil terus menjanjikan utopia pemahaman global." Platform-platform ini memang datang dengan janji yang begitu memikat: sebuah dunia utopis di mana mozaik keberagaman manusia dirayakan, ruang tanpa batas di mana setiap individu dapat berbagi cerita dan perspektif budaya masing-masing. Kita membayangkan sebuah ekosistem digital yang mengubah perbedaan menjadi kekayaan yang diapresiasi bersama. Namun, di balik janji manis ini lebih sering kita melihat paradoks yang menggerogoti persatuan. Alih-alih menjadi jembatan penghubung antar individu yang berbeda, media sosial sering berubah menjadi medan di mana perbedaan itu sengaja dipertajam, prasangka dipelihara secara sistematis, dan polarisasi diproduksi untuk kepentingan segelintir pihak. Oleh karena itu, esai ini akan membedah dualisme media sosial: antara potensinya sebagai perekat keberagaman atau justru menjadi pedang yang tajam yang akan mengoyak-oyak kohesi sosial dan mempertajam begitu banyak kutub-kutub perbedaan manusia.

Media sosial sebagai panggung untuk merayakan perbedaan memang tidak dapat dibantahkan. Bayangkan saja, platform seperti Instagram, TikTok, Facebook dan berbagai forum komunitas memberikan panggung bagi setiap orang untuk menceritakan kisah unik mereka, berbagi budaya, minat, kebiasaan yang unik, perspektif yang beragam, yang sebelumnya teredam oleh batasan-batasan geografis dan sosial kini dapat bertemu disatu pagelaran digital. Bagi seseorang yang mungkin merasa terisolasi di dunia nyata karena identitas etnisnya, agamanya, atau kondisi disabilitas yang dihadapinya, komunitas online hadir sebagai oase yang memberikan dukungan dan penguatan. Di sinilah, tagar-tagar spesifik menjadi semacam kode rahasia yang menyatukan, akun-akun yang didedikasikan untuk isu-isu inklusi menjadi mercusuar yang membimbing, dan forum-forum diskusi tematik menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman dan mencari pemahaman bersama. Kisah-kisah mengharukan tentang individu yang menemukan komunitas dan dukungan yang mereka butuhkan dari media online, serta kampanye-kampanye inspiratif yang merayakan keberagaman identitas dalam segala bentuknya, menjadi bukti nyata bagaimana media sosial, dengan segala kekurangannya, dapat menjembatani kesenjangan dan merayakan keunikan setiap individu. Lebih jauh lagi, media sosial memungkinkan terbentuknya representasi diri yang kaya dan beragam, yang menantang pandangan monolitik dan memperluas pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia.


Media sosial membuktikan kemampuannya mendobrak stigma negatif yang telah lama mengakar dalam masyarakat. Salah satu yang dapat dijadikan contoh disini adalah akun-akun yang secara konsisten membuka wawasan publik tentang kemampuan difabel. Sebagai contoh, @paradifaindonesia dan @difabelzone.id dengan konten-konten kreatifnya akan dapat mematahkan stereotip seperti "difabel sebagai beban" dengan konten edukatif yang menampilkan difabel-difabel yang kreatif dan produktif. @paradifaindonesia kerap memposting video difabel fisik menguasai kerajinan kayu atau desain grafis bahkan modeling membawa pesan yang tak terbantahkan bahwa menjadi difabel bukanlah hal yang memalukan dan harus selalu bergantung pada belas kasihan orang lain. Dengan strategi konten berbasis bukti visual dan data empiris, kedua akun ini tidak hanya mematahkan prasangka, tetapi juga menciptakan ruang dialog baru yang mengedepankan kemampuan dan keunikan potensi alih-alih keterbatasan. Transformasi media sosial dari sekadar platform hiburan menjadi alat dekonstruksi stigma inilah yang memperkuat tesis tentang potensinya sebagai kekuatan untuk merayakan dan mengapresiasi perbedaan.

Media sosial telah membuktikan diri bukan hanya sebagai ruang edukasi mendobrak stigma yang ketinggalan jaman, tetapi juga telah menjadi alat solidaritas untuk memperjuangkan kesetaraan di depan hukum. Dua gerakan lintas negara menjadi bukti nyata: #BlackLivesMatter di Amerika Serikat yang menuntut keadilan bagi minoritas kulit hitam, dan #NoViralNoJustice di Indonesia yang menjadi pengawal publik bagi kasus-kasus orang kecil yang tertindas. Keduanya menunjukkan bagaimana media sosial mampu menyatukan suara-suara mereka yang dianggap kecil dimasyarakat untuk satu tujuan: kesetaraan hukum tanpa diskriminasi. Gerakan #BlackLivesMatter di Amerika Serikat membuka mata dunia bahwa dinegara sebesar Amerika Serikat orang kulit hitam masih sering diperlakukan tidak adil dan bahwa perlakuan tidak adil ini mendapat perlawanan bukan hanya dari kelompok tertidas tetapi juga dari banyak suara lintas warna kulit yang mengelegarkan suara keadilan, simpati dan empati. Di Indonesia sendiri tidak terhitung banyaknya kasus orang-orang kecil yang dinistakan oleh mereka yang punya kuasa yang akhirnya menang setelah media sosial menyembatani kasus mereka dan viral dengan tagar yang mencubit penegak keadilan #noviralnojustice. Inilah esensi merayakan perbedaan: ketika masyarakat dari berbagai identitas bersatu, bukan karena kesamaan, tetapi karena keyakinan bersama bahwa setiap manusia berhak diperlakukan sama di mata hukum. Sebagaimana viralnya tagar-tagar ini membuktikan, solidaritas digital adalah bahasa universal zaman now untuk menolak segala bentuk ketidakadilan yang bersembunyi di balik perbedaan warna kulit, agama, budaya dan aneka identitas lainnya.

Media sosial, yang pada awalnya diharapkan menjadi alat untuk menyatukan, sayangnya juga memiliki sisi gelap yang dapat mengancam persatuan dan kesetaraan. Alih-alih merayakan perbedaan dalam harmoni, platform-platform ini dapat pula menjadi pisau yang mengiris persatuan dan memperdalam perpecahan.

Salah satu ancaman terbesar terhadap persatuan di media sosial adalah penyebaran ujaran kebencian yang tak terkendali. Ujaran kebencian, yang didefinisikan sebagai pernyataan yang menyerang atau mendiskriminasi individu atau kelompok berdasarkan atribut seperti ras, agama, gender, orientasi seksual, atau disabilitas, dapat dengan mudah menyebar luas di platform-platform ini. Anonimitas dan kurangnya konsekuensi langsung dalam interaksi online sering kali membuat orang merasa lebih bebas untuk melontarkan hinaan dan cercaan, menciptakan lingkungan online yang beracun dan tidak aman. Ujaran kebencian tidak hanya menyakiti korbannya secara emosional, tetapi juga dapat memicu kekerasan di dunia nyata dan merusak kohesi sosial. Oleh karena itu, di tengah ancaman ujaran kebencian ini, setiap pengguna media sosial perlu menyadari bahwa setiap komentar yang bertujuan melukai perasaan orang lain adalah bibit yang akan tumbuh menjadi pohon perpecahan. Kita harus memilih: apakah akan memupuk kebencian ataukah menabur benih toleransi? Langkah sederhana seperti berpikir dua kali sebelum mengirim, mengingat bahwa di balik layar ada manusia dengan perasaan, dan aktif menyebarkan konten yang mempromosikan empati, dapat menjadi solusi nyata untuk menghindari tumbuhnya ujaran kebencian di media sosial. Kesehatan digital dimulai ketika kita menolak menjadi penyebar kebencian, dan memilih menjadi jembatan untuk saling memahami. Langkah konkret seperti memverifikasi informasi sebelum membagikannya, melaporkan konten kebencian, serta aktif menyebarkan narasi inklusif adalah tameng kolektif untuk memutus rantai toksisitas digital.

Media sosial dengan algoritma fyp(foryoupage) tidak hanya membantu kita menemukan konten yang kita sukai namun juga berpotensi mempertajam polarisasi dalam masyarakat sehingga bisa berujung pada perpecahan. Platform-platform seperti Facebook, Twitter, dan TikTok menggunakan algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan engagement. Algoritma ini secara tidak sadar menciptakan "ruang gema" (echo chambers) di mana pengguna hanya terpapar konten yang mengonfirmasi bias mereka sendiri. Studi dari MIT (2023) melaporkan bahwa algoritma merekomendasikan konten 73% lebih radikal daripada pandangan awal pengguna dapat secara bertahap menyeret mereka ke ekstremitas ideologis. Misalnya, seorang yang awalnya sekadar mendukung kebijakan tertentu bisa terperangkap dalam spiral konten konspirasi ekstrem karena dorongan algoritma. Efeknya diantaranya adalah pemiskinan wacana dan Dehumanisasi kelompok berbeda. Pemiskinan wacana terjadi  ketika dialog hanya terjadi di antara mereka yang sepaham atau memiliki dan mendukung paham yang sama. Orang-rang dalam lingkaran ini tidak memiliki kesempatan untuk menguji validitas ide mereka melalui perdebatan dengan perspektif berbeda karena mereka hanya berputar dalam pusaran opini yang seragam. Dehumanisasi kelompok berbeda dapat kita lihat seperti dalam kasus polarisasi politik Pilpres 2019 di Indonesia di mana istilah "cebong" dan "kampret" menjadi alat untuk mereduksi manusia menjadi sekadar label hitam putih, musuh dan kawan. Solusi mendasarnya terletak pada kesadaran pengguna bahwa apa yang kita lihat di media sosial bukanlah cerminan realitas, melainkan pantulan dari preferensi algoritmik kita sendiri. Kita harus menyadari bahwa setiap kali kita terjebak dalam pusaran konten yang seragam, kita sedang menjadi budak dari mesin rekomendasi yang dirancang untuk memuaskan ketergantungan kita pada dopamin digital preferensi kita sendiri. Kesadaran ini harus diikuti dengan aksi nyata untuk senantiasa mencari sumber berita terpercaya atau selalu memverifikasi kebenaran konten-konten yang hadir diberanda sosial media kita dan bahwa diluar sana ada banyak pendapat yang berbeda yang juga layak untuk didengar dan diapresiasi.

Media sosial, dengan segala potensinya untuk menghubungkan dan memberdayakan, juga memiliki sisi gelap yang mengancam persatuan dan kesetaraan. Ujaran kebencian, polarisasi, misinformasi, dan algoritma yang bias adalah ancaman serius yang dapat mengiris hubungan sosial, memperdalam perpecahan, dan merusak kohesi sosial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan bertanggung jawab, serta untuk menuntut platform-platform media sosial untuk mengambil tindakan yang lebih tegas untuk mengatasi masalah-masalah ini. Hanya dengan upaya bersama kita dapat memastikan bahwa media sosial akan dapat menjadi jembatan yang merayakan perbedaan, bukan pisau yang merobek persatuan.


Pustaka
Brady, W. J., McLoughlin, K., Doan, T. N., & Crockett, M. J. (2023). Algorithm-mediated social learning amplifies political polarization. Nature Human Behaviour, 7(8), 1254-1267. DOI: 10.1016/j.tics.2023.06.008

Fachruddin, I., & Hidayat, D. (2022). Polarisasi isu politik identitas dan keterbelahan publik pada Pemilu Presiden tahun 2019 [PDF]. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/364731030

Fisher, M. (2022). The chaos machine: The inside story of how social media rewired our minds and our world. Little, Brown and Company.

Posting Komentar untuk "Media Sosial: Jembatan Pemersatu untuk Merayakan Perbedaan atau Pisau Pemecah Persatuan "