Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review Buku : Hidup di Luar Tempurung

A Life Beyond Boundaries: A MemoirA Life Beyond Boundaries: A Memoir by Benedict Anderson
My rating: 4 of 5 stars

Dilahirkan di Tiongkok dengan masa kanak-kanak dilalui di Amerika lalu masa remaja sampai kuliah di Irlandia dan Inggris membuat Ben Anderson seorang yang multi culture dari sono-nya. Buku ini kurang lebih adalah sebuah biografi akademis dari penulis yang mengisahkan masa Kecil penulis, masa menemukan passionnya lalu memulai karir yang sudah divisikannya sampai memasuki dan menjalani masa pensiun yang masih sangat produktif.

Dengan rendah hati pada bagian akhir bukunya Ben mengaku bahwa dari kisah hidupnya ini, ada banyak faktor “keberuntungan” yang berperan. Keberuntungan yang pertama adalah : Lahir dari keluarga dengan latar belakang yang terdidik walaupun dia sendiri berujar “tidak benar bila dibilang orang tua saya adalah intelektual; dalam pengertiannya yang ketat, tapi bersama-sama mereka meberi anak-anaknya perpustakaan rumah yang tak ada bandingnya di kota kecil tempat kami tinggal”. Peran orang tua, khusunya sang ibu, karena ayahnya meninggal pada usia Ben masih 9 tahun, untuk mempersiapkan Ben memasuki dunia akademik sangat nyata. Salah satu kisahnya adalah visi ibu yang menginginkan anaknya masuk ke sekolah favorit di London. Bukan hal yang luar biasa tentunya. Semua ortu ingin anaknya pandai, masuk sekolah terkenal dan unggulan, tapi apa semua ortu terlibat mempersiapkan masa depan anaknya sedetail apa yang dipersiapkan ibu Benedict Anderson. Ibu yang ditulis sebagai nyokap, entah mengapa sang penerjemah memilih kata nyokap diantara pilihan kata ibu yang lain, memilihkan kursus bahasa latin ketika Ben masih di Amerika pada usia kanak-kanak agar nantinya Ben bisa masuk sekolah unggulan di inggris dimana bahasa latin adalah bagian penting dari k urikulumnya. Sang Nyokap berpendapat bahwa Latin adalah ibu dari semua bahasa di eropa barat jadi menguasai bahasa latin akan memudahkan Ben menguasai Bahasa Perancis, Portugis, Spanyol dan Italia. Lagi pula Ben sendiri mengakui bahwa dia jatuh cinta pada bahasa Latin . Tak ayal lagi dari motivasi sang Ibu dan tentunya semangat belajar  Ben sendiri membuka jalannya diterima sekolah dengan beasiswa di Eton College (mungkin setara SMA-D3 untuk sistem pendidikan Indonesia) lalu selanjutnya masuk dengan jalur beasiswa (lagi) ke Cambridge (S1) . Dikatakan bahwa beasiswa yang dilamarnya di Cambridge hanya memberikan 13 kursi dan dia merasa “beruntung” bisa berada pada nomor 12 pada tes seleksi. 
Selanjutnya pendidikan pasca sarjananya diselesaikan di Cornel University (USA) yang dilakukannya sambil mengajar sebagai asisten professor. Kesuksesan Ben tetunya tidak bisa dipisahkan dari kesuksesan sang “yokap” yang nota bene adalah orang tua tunggal.

***

Benedict Anderson dalam karir akademisnya telah menghasilkan deretan tulisan mengenai hasil studinya tentang politik di Indonesia dan asia tenggara pada umumnya. Salah satu yang paling mengguncangkan dunia khususnya Indonesia adalah the Cornell Paper, tulisan akademik yang mengkaji seputar tragedi 30 September ’65. Gara-gara tulisan ini, Dia di usir dari Indonesia pada masa kepemimpinan Suharto. Benedict Anderson baru dapat kembali ke Indonesia, negeri yang dicintainya ini, setelah lengsernya Presiden Suharto. Mengenai kewarganegaraan Benedict, kaum akademisi berkata dia adalah seseorang yang tanpa negara saking peliknya merunut kewarganegaraannya. Dia berdarah Irlandia, lahir di Tiongkok, masa kanak-kanak di Amerika dan Irlandia, Sekolah di Inggris dan memulai karir di Amerika serta jatuh cinta pada Indonesia yang dijadikannya sebagai spesialisasi kajian profesionalnya. Jiwanya adalah Indonesia, didalam bukunya dia ekspresikan betapa kajian-kajian akademiknya telah membuatnya jatuh cinta pada Indonesia.

Pada bagian yang menceriterakan kerja lapangannya di Indonesia, ada dua wawancara berkesan yang dia ceritakan, Yaitu wawancara dengan Laksamana Muda Maeda Tadeshi, sosok dari angkatan laut Jepang yang ikut bermain dibelakang layar, mendorong nasionalis Indonesia untuk memproklamasikan kemerdakaan Indonesia pada 17 agustus 1945. Saya tidak ingat detail bagaimana percakapan terjadi namun kesannya tidak diragukan bahwa Laksamana Maeda bersimpati pada perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga ikut berkontribusi pada peristiwa Rengasdengklok sampai proklamasi 17 agustus 1945. Dari hasil wawancara ini Ben Anderson berpendapat bahwa “revolusi Indonesia tidak mungkin dipahamai tanpa mengakui sumbangsih Jepang”. Wawancara yang berkesan yang kedua adalah wawancara dengan dua bersaudara Ir Sarkiman (anggota Polit Biro PKI) dan Jend. S. Parman. Mengenai wawancara ini, sangat sedikit yang dia ceritakan, meninggalkan pembaca bertanya-tanya mengenai kaitan kedua tokoh ini dalam catatan sejarah Indonesia. Tidak juga Ia menjelaskan apakah Jenderal S. Parman yang dimaksudkan disini adalah sang pahlawan revolusi itu?

***

Pada bagian kerangka perbandingan Benedict Anderson melemparkan sebuah kritikan pedas pada mind set orang Amerika. Yakni khususnya bagi mereka yang menganut paham sseperti katak dibawah tempurung yang menganggap bahwa orang Amerika (maksudnya: orang US) sudah takterbandingkan dari “sononya”. Dia mengkritisi bahwa sementara mereka sibuk mempelajari budaya dan politik di negara-negara asia tenggara misalnya, tidak ada kuliah tentang perpolitikan Meksiko dan Kanada yang merupakan tetangga terdekat dari Amerika. Benedict Anderson menganggap ini sebagai “mitos eksepsionalisme” yang absurd. Dia menandaskan bahwa “dalam banyak cara, tentu saja tergantung sudut pandangnya apa, perpolitikan Amerika tetap saja bisa dibandingkan terutama dengan Eropa, Amerika Selatan, Jepang atau negara-negara dominion Inggris”.

Dari segi award, Benedict Anderson telah memperoleh deretan penghargaan berkaliber international. Dua yang berkesan diantaranya adalah Award untuk “pencapaian seumur hidup” yang diberikan oleh American Association of Asian Studies. Omong-omong baru-baru saja Madona dianugrahi award yang mirip-mirip begitu namanya ( a life time award-moga2 saya tak salah ) dalam bidang music tentunya pada acara American Music award 2016. Dan darah saya berdesir-desir mendengar sang legenda hidup yang seksi dan tua itu memberi sambutan sambil mengangkangkan kakinya. Dia memulai dengan sengaja menyindir kaum sok suci dengan cara sengaja membuat rendah tiang microfone sehingga dia (si nenek cantik Madona) harus mengangkang agar mulutnya tepat berhadapan dengan microfone lalu bersamaan dengan itu, dia berucap ooooh sudah lama sekali saya ingin ngangkang “to spread my leg”. ha ha ha ha. Saya tertawa terbahak mendengar hal itu. Tentu saja tidak menertawakan Madona, tapi ikut menertawakan sebagian diri saya sendiri dan orang-orang yang suka menghakimi orang lain. Saya ingat protes Madona dengan berkata Prince juga menyanyi alias manggung dengan "his butt hanging out" tapi orang tidak pernah  permasalahkan, lalu  kenapa banyak sekali orang nyinyir dengan penampilan Madonna? Lalu katannya kita semua tahu, jawabnya adalah karena Prince(alm) adalah Pria dan Madona Wanita. Madona mengklaim dirinya sebagai "bad feminist". Well kembali ke soal Ben...

Award lainnya yang berkesan dalam ceritanya adalah penghargaan tahunan Fukuoka Prize yang diterimanya tahun 2000. Dalam waktu yang sama penulis kondang Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang juga “dibungkam” pada zaman Suharto mendapat award yang sama. Mereka berdua (Ben dan Pramoedya) katanya akhirnya dapat bertemu bertatap muka setaalah bertahun-tahun hanya saling berbalas surat. Pada kesempatan ini Dalam hal penghargaan untuk Pramoedya, Ben juga memberi catatan kaki bahwa cukup menyedihkan bagi komite penghargaan Fukuoka tahun 2000 itu yang tidak menyingggung sama-sekali kepengecutan pendahulunya. Pasalnya adalah Pramoedya sudah beberapa kali dinominasikan untuk award ini ketika Soeharto masih berkuasa. Akan tetapi menurut Ben waktu itu “komite penghargaan Fukuoka Prize itu tidak berani menghadapi kementrian Luar Negeri Jepang yang terlampau takut menghadapi Suharto”. well next...

***

Cukup banyak yang berkesan namun hal terakhir yang tidak terlalu penting yang ingin saya tambahkan adalah hal pribadi. Membaca buku ini, sebagai orang awam dalam dunia antropologi atau sejarah , nasionalisme saya tergugah. Ini adalah buku kedua yang saya baca, yang mengambil waktu bersamaan dengan konteks kekinian Indonesia dimana gelora nasionalisme kita perlu digugah. Buku pertama yang saya maksud yang juga “menjungkirbalikkan” rasa nasionalis saya adalah ”Titik Nol” dari Agustinus Wibowo. Buku itu menghadirkan warna-warni budaya negara-negara yang dilalui sang pegembara Agustinus Wibowo. Perjalanan Agustinus yang menjumpai berbagai budaya di deretan kota-kota dan negara-negara dilaluinya selalu saja bisa ditarik akar kesamaannya dengan salah satu budaya yang ada di nusantara kita. Sehingga kita bisa saja merefleksi lintas negara ini kedalam satu negara kita, Indonesia. Well mungkin agak berlebihan yang pasti adalah betapa kayanya Indonesia dengan aneka warna budaya menyatu berjuang berjalan bersama meski dalam perih-perih gesekan yang ada. Tapi kita masih Indonesia. Namanya juga jalan bareng di jalur sempit pasti saja gesekan. Sementara itu diluar sana di negara lain kebudayaan yang berbeda dihancurkan oleh kebudayaan lain, dilindas berkeping-keping, jejak-jejaknya dihancurkan (Patung budha Baiyan misalnya). Diluar sana ikatan kebangsaan tumbang menjadi puing-puing karena tidak bisa mengapresiasi hakikat perbedaan dalam dirinya, menyisahkan penderitaan, kesengsaraan, debu. Sementara disini kita masih bangga menatap biru angkasa, berpijak bumi pertiwi Indonesia yang beridiri diatas sejarah yang kuat. Sejarah yang dipilin dari perbedaan dan aneka warna budaya, subur diatas darah para pahlawan-leluhur kita-yang beraneka suku, bahasa dan kepercayaan. Inilah Indonesia kita yang kaya, kaya dan kuat. Betapa tidak kita bangga menjadi Indonesia.
“berbisik-bisik raja klana, memuja pulau yang Indah permai…Indonesia”
Kekayaan alam Indonesia, keelokan strategis posisinya telah dicemburui dan diinginkan dengan sangat oleh bangsa-bangsa penjajah sejak dulu kala. Setelah penjajah itu terusir dari bumi kita dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, muncul sebagai bangsa yang merdeka penuh dengan potensi. Potensi kekuatan dan kajian keilmuan yang sangat menarik negara besar dan maju seperti Amerika. Kajian tentang Asia tenggara yang didalamnya Indonesia secara khusus hadir di Universitas ternama Amerika (Cornell dan Yale) hampir bersamaan dengan lahirnya Indonesia. Mereka sungguh-sungguh tak tahan ingin tahu banyak tentang Indonesia. Kita merdeka tahun 1945 dan kajian tentang Asia tenggara yang termasuk Indonesia didalamya berdiri di Yale (1947) dan di Cornell (1950). Sekarang kita ribut dengan asing (dan katanya aseng-yang ini banyakan hoax) kepada yang ribut asing saya mau bilang situ telat ributnya. Bacalah sejarah dan anda tahu kita diperebutkan asing sejak dulu kala. Jangan hanya berharap diproteksi sama pemerintah. Kalau kita (SDM kita) tidak bisa bersaing dengan negara lain tentu saja proteksi apapun dari pemerintah tidak akan mempan. Tenaga asing jika memang berkualitas tetap akan menjadi pilihan untuk dipekerjakan ketimbang tenaga pribumi jika kita tidak bersiap. Buka mata bersiaplah! globalisasi tidak dapat dielakkan, jangan hanya bisa nyinyir! Keluarlah dari tempurung!
"Katak-katak sedunia bersatulah!"


View all my reviews

Posting Komentar untuk "Review Buku : Hidup di Luar Tempurung"